Sepulang Sekolah #3: Biasa Saja

Suatu Sabtu yang kering, di sebuah kelas bahasa Inggris, seorang tutor yang berusia tiga tahun lebih muda dari saya memancing diskusi dengan sebuah pertanyaan, “What makes you happy this week?”

Beberapa siswa menjawab dengan sangat mudah, sementara saya menunggu hampir sekitar dua menit hanya untuk mengingat apa yang sudah saya lewati minggu ini. Rangkaian ingatan kemudian berbaris maju membentuk sebuah pola membosankan; bangun pukul 04.30 pagi, berangkat ke stasiun Lenteng Agung, berhenti di stasiun Manggarai, menunggu KA 1314 atau 1318 menuju Bekasi, mengucap “Semangat, Annisa!” sebelum mulai bekerja, mengerjakan tugas-tugas kantor, pulang ke rumah, tidur sebelum tengah malam, lalu kembali bangun pukul 04.30 pagi. Saya tidak menemukan hal yang membuat saya bahagia di tengah rutinitas biasa dan membosankan itu. Semua saya anggap biasa saja.

“I’m happy because I feel better now. I’ve got cough last week,” ujar teman di sebelah saya.

“My boyfriend and I went to a cozy place last Saturday night,” ujar teman saya yang lain.

“I got so many purchase orders this week,” setelah bersusah payah mengingat dan mencari, akhirnya saya mengatakan ini. Sungguh, ini pernyataan yang dibuat-buat. Saya tidak terlalu bahagia dengan apa yang saya kerjakan di kantor.

Entah sejak kapan saya memang gemar sekali menjawab pertanyaan dengan kalimat super singkat, “Ah, biasa saja.”

Padahal, jika melihat jawaban dari teman-teman saya tadi, kebahagiaan yang mereka rasakan sangat sederhana. Kebahagiaan-kebahagiaan sederhana itu sesungguhnya datang setiap hari, hanya saja tidak saya sadari; dapat makanan gratis di kantor, dibantu mengerjakan tugas, jadwal kereta tepat waktu, bertemu orang-orang baik, mengobrol dengan sesorang, membaca buku tanpa merasa resah sebab banyak hal lain yang harus dikerjakan, menonton Youtube tanpa gangguan, dan hal-hal kecil lainnya.

Kesulitan menganggap spesial suatu hal membuat saya jadi berpikir apakah saya normal atau tidak, apakah saya memiliki tuntutan ideal-self yang terlalu tinggi, atau apakah ini adalah salah satu mekanisme yang alam bawah sadar lakukan agar tidak mengalami tekanan mental? Ketiganya mungkin saja bisa menjadi alasan. Saya telah membangun tembok yang terlalu tinggi untuk berlindung dari segala lara meski Payung Teduh mengatakan bahwa semua rasa bisa kita cipta. Kalau yang bisa tercipta hanya lara, lantas bagaimana?

Di hadapan empat sisi dinding kamar, saya kemudian berjanji pada diri sendiri. Tulisan ini, seperti tulisan-tulisan lainnya yaitu Sepulang Sekolah #1, Kita Tidak Senang Berdoa, dan satu tulisan yang menyembuhkan akan menjadi titik balik dan bekerja sesuai fungsinya. Saya ingin memperhatikan hal-hal kecil dan menemukan kebahagiaan di dalamnya.

Sepulang Sekolah adalah project bercerita pribadi yang batas waktunya tidak ditentukan. Demi mengurai benang-benang kusut di kepala, Sepulang Sekolah terbit setiap jam pulang kerja.

 

 

 

Tinggalkan komentar