Kita Tidak Senang Berdoa

285192-p693mg-584-1202941487.jpg
Sumber: freepik.com

Pagi itu saya tiba lebih awal di kantor. Jadwal kereta yang tepat waktu dan lalu lintas yang tidak terlalu macet adalah faktor utama penentu. Kala itu ruang kantor masih sepi meski waktu hampir menunjukkan pukul delapan. Di seberang meja, saya melihat sesosok perempuan tengah duduk tertunduk. Hanya kepala dengan rambut hitam sedikit terlihat dari balik sekat meja. Dengan perasaan yakin bahwa yang saya lihat adalah benar-benar manusia, saya memanggilnya,

“Kak Dewi!”

Tidak ada jawaban dalam tiga detik. Saya ulangi kembali,

“Kak Dewi. Kak!”

Tiga detik berikutnya pun tidak ada jawaban. Perasaan curiga dan takut tiba-tiba mampir dalam imajinasi saya. Karena lupa mengambil air minum, akhirnya saya pergi ke dapur tanpa mencoba mendekat ke sosok perempuan tadi. Lalu setelah mengisi botol air minum dan membuang segala perasaan curiga serta takut yang tidak masuk akal, saya mencoba mendekati perempuan itu. Ya, benar. Itu Kak Dewi. Sedang berdoa. Pantas saja panggilan saya tidak dijawab.

Kak Dewi adalah satu teman katolik yang menurut saya cukup religius. Sejak saat itu saya tahu kalau ia memiliki kebiasaan berdoa terlebih dahulu sebelum memulai bekerja. Mendapatinya duduk tertunduk berdoa seperti itu, saya jadi mengingat-ingat lagi apakah saya tadi sudah membaca bismillahi tawakaltu saat keluar rumah. Apakah tadi saya sudah membaca allahumma bariklana sebelum makan? Apakah tadi saya salat subuh dengan khusyuk dan tanpa ngantuk?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, doa adalah permohonan yang berupa harapan, permintaan, atau pujian kepada Tuhan. Sehingga, berdoa adalah mengucapkan permohonan kepada Dzat yang memberi kehidupan ini. Manusia pada dasarnya hanyalah pembuat rencana, sementara yang menentukan segalanya terjadi atau tidak adalah Tuhan. Orang-orang yang mengimani adanya Tuhan, seperti contohnya teman kantor saya tadi, merasa perlu meminta restu kepada Tuhannya agar segala aktivitas berjalan dengan lancar, juga berterima kasih atas karunia yang Dia berikan sampai saat ini.

Berdoa dalam Islam sesungguhnya adalah ibadah. Setiap bacaan salat mengandung doa dan pujian kepada Allah, contohnya seperti doa yang dibaca saat duduk di antara dua sujud yang artinya,

“Ya Allah, ampuni lah dosaku, belas kasihani lah aku dan cukuplah segala kekuranganku, dan angkat lah derajatku, dan beri lah rezeki kepadaku, dan beri lah aku petunjuk dan beri lah kesehatan kepadaku dan berilah ampunan kepadaku.” *

Atau bacaan ketika sujud, subhaana rabbiyal a’laa wabihamdih yang artinya,

“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan Dengan Memuji-Nya.” *

Lantas, jika dalam keseluruhan salat adalah doa, mengapa saya atau pun kita masih sering lalai? Apakah kita senang berdoa? Padahal makan, tidur, bangun tidur, masuk kamar mandi, bercermin, bahkan sampai hal-hal kecil pun sudah diatur doanya. Pernah saya merasa malu ketika teman-teman katolik saya berdoa khusyuk menyilangkan kedua telapak tangan sebelum makan, sementara kedua tangan saya sudah memegang sendok dan garpu. Saya sendiri lupa apakah beberapa menit yang lalu sudah membaca bismillah atau belum.

Ketika jari-jari yang kurus ini dengan mudahnya mengetik satu sampai lima paragraf, lidah saya justru seringkali terasa kaku saat meminta kepada-Nya. Saya malu. Saya malu jika sesungguhnya saya belum benar-benar bersyukur tetapi sudah banyak meminta. Saya malu jika sesungguhnya lidah saya lebih banyak digunakan untuk mengutuk, berdebat, dan mengucap kebencian ketimbang berdoa kepada-Nya.

Sesungguhnya doa adalah perantara, komunikasi antara hamba dengan Tuhannya. Namun, apakah kita boleh menitip doa untuk orang lain? Saya, disadari atau tidak, seringkali mengatakan, “Doakan gue, ya”, atau bisa saja saya yang menjawab, “Iya, gue doakan supaya ujiannya sukses”, tapi kemudian suatu hari di perjalanan menuju rumah saya bertanya pada diri sendiri. Apakah saya benar-benar memohon kepada Tuhan agar Si A lulus ujian? Apakah Dia tetap akan mendengar meski kedua tangan saya tidak diangkat untuk secara khusus meminta agar teman saya dilancarkan dalam ujiannya? Tukang bakso tidak akan memberikan kita semangkuk bakso jika kita hanya menginginkan tanpa menyampaikan. Doa mungkin saja tidak akan menjadi doa hanya dengan kalimat, “Oke, gue doakan.”

Kalau saya atau lagi-lagi mungkin kita, sering lupa berdoa ketika hendak makan, salat tanpa memahami arti bacaan-bacaannya, mendadak gagap berkomunikasi dengan-Nya, atau terlalu sering mengucap iya gue doakan tanpa memasukkannya dalam doa khusus sehabis salat, bisa jadi kita memang tidak senang berdoa.

(* Correct Me If I am Wrong

Satu tanggapan untuk “Kita Tidak Senang Berdoa

Tinggalkan komentar