Melihat Penjual Kue Pukis Bekerja*

Saya hampir selalu merasa panik ketika matahari mulai melaksanakan tugasnya, tetapi kaki saya belum juga melangkah menuju stasiun. Sebab kurang lebih 120 menit harus saya habiskan demi sampai di kantor tepat waktu. Di kota yang tak ramah ini, dengan sedikit rasa enggan, saya dipaksa oleh diri saya sendiri untuk memburu kereta-kereta yang penuh dan sesak. Rutinitas yang membosankan dan gaji yang tak seberapa membuat saya kerap kali ingin menyerah di tengah perjalanan. Perasaan ingin menyerah itu muncul dan tenggelam seperti ikan yang kelelahan.

Saya melirik jam di tangan kiri. Masih pukul 06.20. Namun, beberapa meter di hadapan saya, di depan pangkalan ojek stasiun, seorang penjual kue pukis sudah sibuk dengan dagangannya. Ia laki-laki, mungkin usianya sekitar empat tahun lebih muda dari saya. Di gerobaknya ada tulisan “Kue Pukis Banyumas”. Saya tidak pernah tahu kalau kue pukis itu makanan khas Banyumas. Atau mungkin si penjual saja yang berasal dari Banyumas. Selama hampir dua tahun mondar-mandir di stasiun, baru akhir-akhir ini saya menyadari bahwa ia adalah seekor ikan yang tangguh.

Di saat pedagang lain masih belum mulai menggelar dagangannya, ia sudah di sana membuat kue-kue itu siap dijual. Sebenarnya tidak ada yang spesial pada kue yang ia jual, hanya kue pukis biasa dengan toping keju atau coklat. Yang membuatnya spesial menurut saya adalah konsistensinya dalam bekerja. Beberapa minggu setelah menyadari bahwa ia adalah manusia jenis morning person, saya melihatnya mulai menata gerobak dagangannya pukul 05.15. Sudah sepagi itu ia bersiap. Walau tidak terikat, ia memiliki jam kerja tersendiri layaknya orang kantoran. Saya, yang hampir setiap hari pergi-pulang melewati stasiun, sudah hafal betul kapan Si Penjual Kue Pukis itu memulai dan berhenti menjaja dagangannya.

Si penjual kue pukis di mata saya adalah sosok yang tekun dan pekerja keras. Ia bangun lebih pagi dari pedagang lain. Pernah dengar orang sukses adalah orang yang bangun lebih pagi? Pernah dengar istilah bangun siang rezeki dipatok ayam? Mungkin itu yang menjadi prinsip si penjual kue pukis. Saya sendiri merasa bahwa pagi adalah waktu yang efektif untuk belajar dan bekerja. Ah ya, nanti saya coba cari jurnalnya.

Terlepas dari ketidaktahuan saya akan keikhlasan dan kesenangannya dalam bekerja, saya yakin ia adalah ikan yang tangguh. Bekerja, suka atau tidak suka memang seharusnya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Entah bagaimana hasilnya, bekerja seharusnya dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Di peron stasiun yang sibuk, saya kemudian teringat percakapan dengan teman filosofis saya,

“Mut, gue salut sama tukang kue pukis. Gue berangkat kerja dia udah ada, gue pulang malam dia masih ada juga.”

“Kita tuh sebenernya udah tau apa yang harus kita lakuin, tapi kenapa saraf motorik ini nggak bekerja ya?”

“Hahaha.”

* Meniru salah satu judul buku Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja