Mengingat Sejarah Melalui Museum Nasional

Beberapa waktu lalu, saat gagal menonton Asian Para Games karena kehabisan tiket, saya bersama tiga orang sahabat saya melakukan perjalanan yang hampir selalu tidak jelas hingga berujung pada kunjungan ke sebuah museum di depan halte TransJakarta Monas. Kami yang seringkali melakukan perjalanan sembarangan tentu tidak tahu kalau tiket pada hari itu digratiskan sehubungan dengan hari museum nasional. Ah, kebetulan. Sayangnya, karena sudah terlalu lelah, kami hanya mengunjungi satu spot tempat saja. Hingga pada saat menentukan akan ke mana wisata edukasi Minggu Cerdas Desember nanti, yang ada di pikiran kami adalah Museum Nasional. Saya dan ibu inisiator Gerakan Suka Baca, Kak Ren, kemarin melakukan tinjauan awal sekaligus mencari tahu bagaimana tindak lanjut dari surat permohonan kunjungan kami.

Museum Nasional yang juga dikenal dengan Museum Gajah ini terletak di jalan Medan Merdeka Barat No. 12, Gambir, Jakarta Pusat. Akses ke sini jika menggunakan kendaraan umum sebetulnya lebih mudah menggunakan bus TransJakarta karena berada di depan halte Monas. Jika menggunakan commuter line memang agak jauh, harus sambung angkutan lagi. Kalau kemarin saya turun di stasiun Juanda, lalu lanjut dengan taksi online. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar 4 km. Untuk perincian harga tiket masuk perorangannya sebagai berikut.

  • Dewasa: Rp 5000,00
  • Anak: Rp 2000,00
  • Wisman (wisatawan asing): Rp 10.000,00

Oh ya, untuk kunjungan rombongan harganya berbeda, ya. Kunjungan rombongan bisa diajukan dengan mengirimkan surat permohonan kunjungan yang ditujukan ke Kepala Museum Nasional dengan minimal 20 orang per-rombongan. Lumayan, ada sedikit potongan harga. Museum Nasional bisa dikunjungi setiap Selasa sampai Minggu. Senin dan tanggal merah tutup.

Museum ini terdiri dari dua gedung, yaitu gedung A dan gedung B. Gedung A adalah gedung lama, sementara gedung B adalah gedung arca. Nah, di antara dua gedung tersebut, tepat di depannya, ada satu karya dari seniman Nyoman Nuarta yang berjudul “Ku Yakin Sampai Di Sana”. Ini adalah karya yang paling ikonik dan instagramable bagi kamu yang suka mengisi linimasa Instagram dengan foto-foto keren. Sewaktu saya bilang terlalu mainstream untuk berpose di depan karya tersebut, saya malah ‘dikeplak’. Ya. Baik.

Di antara gedung A dan gedung B ada ruangan yang biasa disebut dengan lobi kaca. Nah, di lobi kaca tersebut biasanya ada pertunjukkan gamelan dan acara kebudayaan lainnya. Sewaktu saya ke sana, ada anak-anak sedang latihan menari tradisional. Kalau gedung A, isinya seperti ini.

Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi

Sementara, gedung B atau gedung arca terdiri dari empat lantai.

Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 1: Manusia dan Lingkungan

Di sini ada beberapa fosil manusia dan kehidupannya di masa purba. Di spot ini, kita bisa mempelajari bagaimana kepulauan Indonesia terbentuk, migrasi manusia dan hewan, manusia purba dan bagaimana mereka berburu, silsilah manusia, serta Sangiran yang menjadi wilayah ditemukannya banyak fosil manusia purba.

Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 2: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Begitu saya memasuki ruangan lantai dua, saya langsung menghampiri potret di dinding ini. Indonesia sekali. Di sini juga banyak prasasti zaman Hindu-Budha, salah satunya adalah prasasti Mulawarman. Prasasti yang berbahasa Sansekerta ini berisi tentang silsilah raja terbesar di daerah Kutai Purba, yaitu Mulawarman. Ah ya, saya ingat pernah belajar dulu di sekolah. Selain prasasti, di sini juga terdapat beberapa miniatur rumah adat dan alat transportasi di Indonesia.

Lantai 3: Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman

Dari segi tata ruang, lantai tiga ini tidak jauh berbeda dengan lantai dua. Bahkan hampir sama. Di sini cukup banyak artefak peninggalan masyarakat masa Hindu-Budha. Tidak hanya Hindu-Budha, kita juga bisa belajar bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia membawa perubahan dalam berbagai aspek kebudayaan seperti arsitektur bangunan, cara berbusana, dan ragam hias. Sebelum masuknya pengaruh budaya Cina, Islam, dan Eropa, pola pemukiman pada masa Hindu-Budha ditentukan dengan adanya stratifikasi sosial. Nah, di ruangan ini kita bisa belajar banyak sejarah yang biasanya membuat bosan di kelas.

img_20181201_141212-01382684603.jpeg
Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 4: Khasanah Emas dan Keramik

Sayang sekali saya tidak bisa mengulas apa yang ada di lantai 4 ini. Karena kami sudah merasa lapar setelah menempuh perjalanan Depok-Jakarta Pusat, kami memutuskan untuk pulang saja. Ya. Baik. Salah saya terlalu lama nyasar di UI.

Secara keseluruhan, Museum Nasional adalah salah satu alternatif terbaik jika kita ingin berwisata di Jakarta tanpa harus ke mall. Semasa sekolah, saya paling malas belajar IPS, terutama Sejarah. Melalui museum, saya bisa melihat secara langsung peninggalan-peninggalan zaman dahulu, tidak hanya membayangkan apa yang ada di buku. Jadi, jika ada yang bertanya di Jakarta bisa wisata ke mana saja, jangan lupa sebutkan Museum Nasional atau Museum Gajah ini, ya!

Tinggalkan komentar