Ulasan Singkat: Aku Radio bagi Mamaku

Judul Buku: Aku Radio Bagi Mamaku
Penulis: Abinaya Ghina Jamela
Tahun terbit: 2018
Jumlah halaman: v+93 hal.

“Kami tidak berjalan di trotoar karena semua toko-toko di sepanjang jalan itu sudah mencurinya.”

Alinka adalah seorang murid Untuk Pemula, sebutan kelas satu sekolah dasar di sekolah Terbaik Sunopa, yang mengaku dirinya jahil dan pemberani. Meskipun jahil, ia adalah anak yang lebih menyukai pergi ke perpustakaan saat jam istirahat dibandingkan dengan bermain bersama teman-teman yang sering mengganggunya. Di kota bernama Sunopa itu, ia tinggal bersama mama, papa, dan kakaknya.

Aku Radio Bagi Mamaku adalah buku kedua dari penulis yang akrab dipanggil Naya tersebut. Buku ini berisi kumpulan cerita dari sudut pandang seorang anak-anak. Naya, penulis cilik kelahiran 2009 ini memiliki ide-ide cerita yang cukup tak biasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Gaya berceritanya sederhana, tetapi seringkali mengandung kritikan halus terhadap orang-orang dewasa. Contohnya seperti orangtua yang selalu merasa benar, trotoar yang kini lebih banyak dipakai untuk pedagang kaki lima, kebiasaan membuang sampah sembarangan dan melanggar lalu lintas, serta kritik halus lainnya akan muncul jika kita cermati baik-baik.

Buku pertama Naya yang berupa kumpulan puisi berjudul Resep Membuat Jagad Raya telah masuk ke dalam longlist Kusala Sastra Khatulistiwa dan menjadi buku puisi terfavorit 2017 versi Goodreads. Di usianya yang masih sangat belia, ia sudah membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, Jostein Gardner, John Steinback, beberapa buku ensiklopedia, mitologi mesir, dan lain-lain.

Sebagai orang dewasa yang membaca buku ini, saya diajak kembali mengingat masa kecil yang penuh dengan pertanyaan sederhana. Melalui pemilihan diksi yang begitu baik, saya terkenang oleh kebahagian-kebahagian kecil, juga kekesalan-kekesalan yang hanya berlalu begitu saja.

*Catatan: Ulasan singkat ini pada awalnya pertama kali diunggah di Instagram @minggucerdas, kemudian diunggah ulang di sini dengan sedikit perubahan.

Mengingat Sejarah Melalui Museum Nasional

Beberapa waktu lalu, saat gagal menonton Asian Para Games karena kehabisan tiket, saya bersama tiga orang sahabat saya melakukan perjalanan yang hampir selalu tidak jelas hingga berujung pada kunjungan ke sebuah museum di depan halte TransJakarta Monas. Kami yang seringkali melakukan perjalanan sembarangan tentu tidak tahu kalau tiket pada hari itu digratiskan sehubungan dengan hari museum nasional. Ah, kebetulan. Sayangnya, karena sudah terlalu lelah, kami hanya mengunjungi satu spot tempat saja. Hingga pada saat menentukan akan ke mana wisata edukasi Minggu Cerdas Desember nanti, yang ada di pikiran kami adalah Museum Nasional. Saya dan ibu inisiator Gerakan Suka Baca, Kak Ren, kemarin melakukan tinjauan awal sekaligus mencari tahu bagaimana tindak lanjut dari surat permohonan kunjungan kami.

Museum Nasional yang juga dikenal dengan Museum Gajah ini terletak di jalan Medan Merdeka Barat No. 12, Gambir, Jakarta Pusat. Akses ke sini jika menggunakan kendaraan umum sebetulnya lebih mudah menggunakan bus TransJakarta karena berada di depan halte Monas. Jika menggunakan commuter line memang agak jauh, harus sambung angkutan lagi. Kalau kemarin saya turun di stasiun Juanda, lalu lanjut dengan taksi online. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar 4 km. Untuk perincian harga tiket masuk perorangannya sebagai berikut.

  • Dewasa: Rp 5000,00
  • Anak: Rp 2000,00
  • Wisman (wisatawan asing): Rp 10.000,00

Oh ya, untuk kunjungan rombongan harganya berbeda, ya. Kunjungan rombongan bisa diajukan dengan mengirimkan surat permohonan kunjungan yang ditujukan ke Kepala Museum Nasional dengan minimal 20 orang per-rombongan. Lumayan, ada sedikit potongan harga. Museum Nasional bisa dikunjungi setiap Selasa sampai Minggu. Senin dan tanggal merah tutup.

Museum ini terdiri dari dua gedung, yaitu gedung A dan gedung B. Gedung A adalah gedung lama, sementara gedung B adalah gedung arca. Nah, di antara dua gedung tersebut, tepat di depannya, ada satu karya dari seniman Nyoman Nuarta yang berjudul “Ku Yakin Sampai Di Sana”. Ini adalah karya yang paling ikonik dan instagramable bagi kamu yang suka mengisi linimasa Instagram dengan foto-foto keren. Sewaktu saya bilang terlalu mainstream untuk berpose di depan karya tersebut, saya malah ‘dikeplak’. Ya. Baik.

Di antara gedung A dan gedung B ada ruangan yang biasa disebut dengan lobi kaca. Nah, di lobi kaca tersebut biasanya ada pertunjukkan gamelan dan acara kebudayaan lainnya. Sewaktu saya ke sana, ada anak-anak sedang latihan menari tradisional. Kalau gedung A, isinya seperti ini.

Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi

Sementara, gedung B atau gedung arca terdiri dari empat lantai.

Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 1: Manusia dan Lingkungan

Di sini ada beberapa fosil manusia dan kehidupannya di masa purba. Di spot ini, kita bisa mempelajari bagaimana kepulauan Indonesia terbentuk, migrasi manusia dan hewan, manusia purba dan bagaimana mereka berburu, silsilah manusia, serta Sangiran yang menjadi wilayah ditemukannya banyak fosil manusia purba.

Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi
Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 2: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Begitu saya memasuki ruangan lantai dua, saya langsung menghampiri potret di dinding ini. Indonesia sekali. Di sini juga banyak prasasti zaman Hindu-Budha, salah satunya adalah prasasti Mulawarman. Prasasti yang berbahasa Sansekerta ini berisi tentang silsilah raja terbesar di daerah Kutai Purba, yaitu Mulawarman. Ah ya, saya ingat pernah belajar dulu di sekolah. Selain prasasti, di sini juga terdapat beberapa miniatur rumah adat dan alat transportasi di Indonesia.

Lantai 3: Organisasi Sosial dan Pola Pemukiman

Dari segi tata ruang, lantai tiga ini tidak jauh berbeda dengan lantai dua. Bahkan hampir sama. Di sini cukup banyak artefak peninggalan masyarakat masa Hindu-Budha. Tidak hanya Hindu-Budha, kita juga bisa belajar bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia membawa perubahan dalam berbagai aspek kebudayaan seperti arsitektur bangunan, cara berbusana, dan ragam hias. Sebelum masuknya pengaruh budaya Cina, Islam, dan Eropa, pola pemukiman pada masa Hindu-Budha ditentukan dengan adanya stratifikasi sosial. Nah, di ruangan ini kita bisa belajar banyak sejarah yang biasanya membuat bosan di kelas.

img_20181201_141212-01382684603.jpeg
Sumber: Dokumen pribadi

Lantai 4: Khasanah Emas dan Keramik

Sayang sekali saya tidak bisa mengulas apa yang ada di lantai 4 ini. Karena kami sudah merasa lapar setelah menempuh perjalanan Depok-Jakarta Pusat, kami memutuskan untuk pulang saja. Ya. Baik. Salah saya terlalu lama nyasar di UI.

Secara keseluruhan, Museum Nasional adalah salah satu alternatif terbaik jika kita ingin berwisata di Jakarta tanpa harus ke mall. Semasa sekolah, saya paling malas belajar IPS, terutama Sejarah. Melalui museum, saya bisa melihat secara langsung peninggalan-peninggalan zaman dahulu, tidak hanya membayangkan apa yang ada di buku. Jadi, jika ada yang bertanya di Jakarta bisa wisata ke mana saja, jangan lupa sebutkan Museum Nasional atau Museum Gajah ini, ya!